Cetak biru otak jabang bayi, sudah terbentuk pada 3 bulan
pertama usia kehamilan. Hasil penelitian Shrimpton dkk. (Jurnal Pediatrics,
Mei 2001) yang berjudul “Worldwide Timing of Growth Faltering:
Implications for Nutritional Interventions” menunjukkan bahwa status
gizi seorang anak berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U)
cenderung menurun pada saat ia memasuki usia 3 bulan. Penurunan
status gizi yang sangat tajam terjadi hingga ia berusia 12 bulan dan
mulai melambat pada usia 18-19 bulan. Hanya saja, kekurangan gizi
ini masih akan terus berlanjut hingga anak usia 5 tahun.
Jika intervensi peningkatan asupan gizi dilakukan
setelah anak berusia 2 tahun, maka intervensi tersebut sangat tidak
efektif. Mengapa? Karena kondisi anak sebenarnya mulai memburuk jauh
sebelum anak berusia 2 tahun dan itu proses yang tidak dapat diulang.
Para ahli menyatakan periode usia anak di bawah 2
tahun dikenal sebagai “periode emas” atau “Window of Opportunity”.
Dengan begitu, kalau ingin medapatkan generasi yang sehat dan kuat, maka
skala prioritas 1000 hari pertumbuhan dimulai saat anak masih
dalam kandungan hingga usia 2 tahun.
Sayangnya, periode emas inilah yang seringkali kurang
menjadi perhatian keluarga, baik karena kurangnya pengetahuan
maupun luputnya skala prioritas yang harus dipenuhi anak yang
sehat hanya mungkin dilahirkan oleh ibu yang sehat yang selalu menjaga asupan
gizinya baik mikro ataupun makro.
Kekurangan gizi
pada awal kehidupan anak akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Anak
yang kurang gizi akan tumbuh lebih pendek (berat lahir rendah) dan berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif (perkembangan kecerdasan anak
sejalan dengan
perkembangan usianya), dan kemungkinan keberhasilan pendidikan, serta menurunkan
produktivitas pada usia dewasa. Selain itu, gizi kurang/buruk merupakan
penyebab dasar kematian bayi dan anak.
Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari
pertumbuhan, selain memberi kesempatan bagi anak untuk hidup lebih lama, lebih
sehat, lebih produktif, dan berisiko lebih rendah dari menderita penyakit
degeneratif di usia dewasa, juga berperan positif dalam memutus rantai
kemiskinan. Hal ini dimungkinkan dengan dilakukannya upaya intervensi perbaikan
gizi ibu hamil, bayi, dan balita, sehingga melahirkan anak yang sehat.
Jika asupan gizi bayi yang dibutuhkan tak terpenuhi, karena
orangtuanya miskin, maka sangat mungkin anak akan menderita gizi buruk. Jika
kondisi ini memungkinkan anak dapat bertahan hidup, pertumbuhannya akan
mengalami hambatan, termasuk perkembangan otaknya. Ditambah lagi, karena daya
tahan tubuhnya lemah, anak akan sering sakit-sakitan. Kondisi ini tidak
memungkinkannya menjadi anak yang sehat dan produktif, kompetitif dan siap
bersaing, bahkan hingga ia dewasa.
Bila kondisi ini terulang kembali pada si anak
ketika telah dewasa, maka akan muncul keluarga baru miskin generasi kedua dari
keluarga yang miskin dan kurang gizi. Mereka pun akan mengalami kesulitan yang
lebih kurang sama untuk menjadikan anak-anak mereka sehat dan produktif.
Kondisi ini jelas menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki generasi (lost
generation) dan kemiskinan seolah diwariskan ke generasi berikutnya.
Sumber : kemenkes RI
Komentar
Posting Komentar